Berbuat Baik Tanpa Pandang Identitas

Berbuat Baik Tanpa Pandang Identitas. (foto: istimewa)
Berbuat Baik Tanpa Pandang Identitas. (foto: istimewa)
Berbuat Baik Tanpa Pandang Identitas

Jakarta – Ibn ‘Atha’illah dalam al-Hikam-nya menyebut pencinta sebagai “orang yang tidak pernah mengharap imbalan ataupun keuntungan dari yang dicintainya.

Sebenar pencinta adalah pemberi, bukan yang terberi” (ليس المحب الذي يرجو من محبوبه عوضا أو يطلب منه غرضا، فإن المحب من يبذل لك ليس المحب من تبذل له).

Ungkapan ini terkait erat kecintaan sejati seorang hamba kepada Tuhannnya. Tak salah juga kiranya kalau coba dikontekskan ke objek cinta selain-Nya.

Cinta seorang murid ke gurunya berbentuk ketekunan dan kesalehan dalam berguru, tidak semata berharap siraman ilmu secara sepihak dari gurunya.

Ketulusan seorang murid bukan dengan balasan materi kepada gurunya, tetapi peningkatan intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas dirinya. Itu mungkin uraiannya di satu sisi. Kita coba perluas dikit ya uraiannya.

Dalam sebuah komunitas, kecintaan anggotanya ditandai dengan solidaritas dan nilai konstruktif yang dipersembahkan, tidak hanya pada lingkup komunitasnya, tetapi juga mencakup kemaslahatan khalayak.

Membangun reputasi dengan cara ini tentu diidamkan. Ironisnya, kecintaan sempit acap diperjuangkan mati-matian, namun abai pada kebaikan bersama yang berjangka panjang.

Komunitas pun kian dipersempitnya dan memicu bangkitnya komunitas kecil lain sebagai kompetitornya. Pada gilirannya, potensi gesekan pun sulit dihindarkan jika hanya mengacu pada kepentingan terbatas.

Kemaslahatan agama tidak terbatasi hanya kepada penganutnya, tetapi menjangkau penganut agama lain. Kita ingat kisah masyhur tentang Thu’mah ibn Ubairiq, seorang muslim dari Bani Zhafar di Madinah yang mengambil baju perang milik tetangganya (Qatadah ibn al-Nu’man) kemudian menyembunyikannya di kediaman seorang Yahudi bernama Zayd ibn al-Samin. Singkat cerita, orang Yahudi tersebut menjadi tertuduh oleh ulah licik si Thu’mah.

Zayd ibn al-Samin pun balik menuduh Thu’mah sebagai pelakunya. Yang disebut terakhir ini mencoba mendekati Rasulullah SAW agar “dimenangkan” dalam perkara tersebut.

Namun, keputusan Rasulullah SAW tidak dapat dipengaruhi oleh kedekatan personal dan relasi identitas yang tengah berperkara, melainkan asas kebenaran.

Meski memperoleh tekanan dari Bani Zhafar untuk mempersalahkan si Yahudi, proses hukum tetap berjalan normal. Si Yahudi pun terbebaskan dari tuduhan.

Buntut dari perkara ini, kemunafikan Thu’mah semakin menjadi-jadi dan berupaya menjerumuskan Rasulullah SAW, bahkan berafiliasi dengan musyrik Mekkah memusuhi beliau.

Kisah ini banyak dikutip dalam kitab-kitab tafsir, terutama pada penjelasan QS. al-Maidah ayat 105.

Orang berislam itu memberi efek positif kepada seluruh manusia, tanpa membedakan muslim dan non-muslim. Itulah salah satu pengejawantahawan “rahmatan lil-‘alamin” dalam kehidupan.

Kecintaan pada agama tidak dibatasi oleh dinding komunitas. Mencintai agama berarti memberi andil kebaikan pada semua. Kebaikan dari agama sifatnya memberi dan “tidak membatasi”.

 

Syahrullah Iskandar

(Pengasuh Pesantren DDI Baitussalam Depok)

 

Comment