Umar bin Khattab, Pemimpin yang Merakyat

Umar bin Khattab: Pemimpin yang Merakyat. (ilustrasi)
Umar bin Khattab: Pemimpin yang Merakyat. (ilustrasi)

[author title=”Syahrullah Iskandar” image=”https://eportal.id/wp-content/uploads/2020/05/B3493A00-E139-47E8-BFC3-2C7635ECD5E0.jpeg”]Penulis Nasaruddin Umar Office[/author]

Umar bin Khattab: Pemimpin yang Merakyat

[dropcap]J[/dropcap]ika kembali membuka lembaran sejarah kepemimpinan al-Khulafa’ur Rasyidun, kita memperoleh pelajaran penting bahwa masing-masing khalifah tersebut menawarkan karakteristik kepemimpinan yang berbeda, namun semuanya merupakan pemimpin yang merakyat.

Abu Bakar dengan sifat lemah-lembut dan ketegasannya, Umar bin Khattab dengan kecerdasan, ketegasan, dan kedekatannya dengan warga, Utsman bin ‘Affan dengan kesabaran, kesalehan, dan keramahannya, sedangkan Ali bin Abi Thalib dengan ketegasan dan keberpihakannya pada kebenaran. Kesemuanya unik di setiap periodenya, sehingga perbaikan keumatan lebih efektif dan tepat sasaran.

Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua dari al-Khulafa’ur Rasyidun. Ia menduduki tampuk kekhalifahan selama 10 tahun 6 bulan (13H/634M-23H/644M).

Kepemimpinannya mencerminkan keteladanan yang patut dipedomani oleh calon pemimpin bangsa, terlebih bagi yang akan memimpin Indonesia yang berbhinneka secara etnis, budaya, agama, karakteristik, dan selainnya.

Sejarah mengakui kecerdasan emosional dan intelektualnya, baik sebelum maupun setelah diamanati sebagai khalifah penerus Abu Bakar as-Shiddiq.

Seorang penulis ternama di Mesir, ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, mengabadikan sebuah karya komprehensif yang dijuduli ‘Abqariyyatu ‘Umar.

Kitab setebal 240 halaman ini mengurai secara mendalam kecerdasan Umar bin Khattab baik dari sisi kepribadian maupun kepemimpinannya.

Kita dapat mempelajari beberapa keteladanan yang diwariskan Umar bin Khattab, seperti kesederhanaan, kedekatan dengan masyarakat, dan keberanian mengambil keputusan.

Kesedehanaan

Kesederhanaan menjadi ciri yang melekat dalam keseharian Umar bin Khattab. Tempat tinggal dan cara berpakaian yang jauh dari kesan mewah menjadi keunggulannya, baik sebelum maupun semasa menjadi khalifah.

Kita teringat bagaimana seorang khalifah yang bergelar al-faruq ini tidur dengan pulasnya di beranda masjid kendati hanya berbantalkan mantel yang dipakainya sehari-hari. Kesederhanaan yang membuat Raja Hurmuzan dari Kerajaan Persia takjub menyaksikannya.

Kesederhanaan lainnya terlihat pada cara berpakaian yang jauh dari kesan glamor. Bahkan, Uskup Severinus di Yerussalem — ketika menerima kunjungan Umar bin Khattab bersama seorang ajudannya — tidak dapat membedakan antara sang khalifah dan ajudannya karena kesederhanaan berpakaiannya.

Kesederhanaan ini patut diguguh mengingat kepemimpinan masa kini sering kali diidentikkan dengan ‘keberkuasaan’ sehingga menampilkan kelebihan dan kemewahan sebagai simbol kewibawaan.

Padahal, kewibawaan seorang pemimpin bukanlah terletak pada sisi penampilan fisik, melainkan berbasis pada kinerja, perbaikan, dan prestasi meski hanya berpenampilan seadanya.  

Kerja dan Akrab dengan Warganya

Kecerdasan Umar bin Khattab lebih bersifat praktis. Ia tidak mengandalkan bahasa verbal (lisan), apalagi sekadar retorika, tetapi dibuktikan dalam kerja nyata.

Keputusan-keputusan strategis yang muncul dari pikirannya di saat menghadapi persoalan keseharian umat menjadi ujung tombak kepemimpinannya.

Atas dasar itu, Nabi Muhammad SAW pernah memujinya sebagai seorang yang senantiasa bekerja maksimal.

فَلَمْأَرَعَبْقَرِيًّامِنَالنَّاسِيَفْرِيْفَرِيَّهُ

“Saya belum pernah melihat orang cerdas (seperti Umar) yang bekerja secara tekun dan mengagumkan”

(HR. Bukhari dari Sahabat Abdullah bin Umar)

 Umar bin Khattab rajin menginvestigasi warganya dari dekat, sehingga lebih mengetahui kondisi riil warganya secara objektif dan kebijakan yang diambilnya pun tepat sasaran.

Dalam konteks keindonesiaan, metode seperti itu identik dengan istilah “blusukan”. Mungkin bagi kebanyakan orang, cara “blusukan” sudah tidak relevan lagi dalam konteks kepemimpinan modern karena seorang pemimpin harus hadir di tempat-tempat yang tidak lazim dikunjunginya dalam kapasitasnya selaku pejabat publik.

Padahal, metode yang dalam bahasa Sunda disebut “kukurusukan” ini lebih efektif, lebih merakyat, dan lebih mengenal serta merasakan realitas kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Dengan “blusukan”, seorang pemimpin harus sering “turun ke bawah” (turba) ke pasar-pasar tradisional kendati harus becek-becekan. Ketika warganya ditimpa bencana banjir, ia ikhlas basah-basahan menjumpai dan membantu warganya.

Kita teringat bagaimana Umar bin Khattab “blusukan” menolong seorang ibu yang hendak melahirkan dan tidak memiliki biaya. Ia juga mengeluarkan sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang perempuan tua yang dijumpainya kelaparan bersama anak-anaknya di tengah malam.

Keberanian Mengambil Keputusan

Sering kali kinerja Umar bin Khattab harus ditentang oleh banyak orang karena inovasi dan pertimbangan jangka panjangnya ketika berpendapat atau menetapkan sebuah kebijakan.

Umar bin Khattab pernah mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq agar tidak memberikan bagian dari Baitul Mal kepada orang yang baru memeluk Islam.

Ia juga memutuskan untuk tidak memberikan harta rampasan perang berupa harta benda tetap kepada para tentara. Ia bahkan tidak segan untuk memecat panglima perang yang diduga menyalahi perintah negara.

Tentu saja, kebijakan yang terbilang kontroversial di masanya itu ditempuhnya demi kepentingan negara di masa mendatang.

Meneladani Umar bin Khattab dalam konteks kepemimpinan di tanah air saat ini sangatlah mengena. Sosok yang tidak flamboyan, komitmen untuk bekerja dan merakyat, serta tegas dan berani mengambil kebijakan — kendati sering “kontroversial” — demi menggapai perbaikan bangsa dan negara adalah sosok yang dinanti untuk menahkodai negeri yang tengah butuh perubahan dan suasana yang lebih baik.

Umar bin Khattab: Pemimpin yang Merakyat. (Syahrullah Iskandar)

Comment