[author title=”Syahrullah Iskandar” image=”https://eportal.id/wp-content/uploads/2020/05/FB_IMG_1669650215120.jpg”]Penulis Nasaruddin Umar Office[/author]
Beramar Ma’ruf dengan Cara yang Santun
[dropcap]S[/dropcap]logan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (AMNM) bukanlah kaplingan sekelompok orang, namun milik umat Islam secara keseluruhan yang didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits.
Tidak tanggung-tanggung, kaum Muktazilah selaku salah satu kelompok teologis besar yang beraliran rasional telah menjadikannya sebagai sebagai salah satu dari ajaran dasar teologisnya (al-ushul al-khamsah).
Bagi pengikut Muktazilah, doktrin AMNM ini berlaku untuk segenap umat Islam. Sejak periode sahabat Nabi SAW dan periode berikutnya telah terjadi kontroversi perihal proporsi pengejawantahannya, terutama pada otoritas dan wilayah tangan, lisan, ataupun hati.
Di samping itu, dalam pelaksanaannya juga terdapat beberapa prasyarat, di antaranya tidak membawa mudharat yang lebih besar.
Term AMNM memang sebuah doktrin universal bagi umat Islam dalam kesehariannya. Belakangan muncul beberapa perkumpulan yang menjadikan slogan AMNM sebagai prinsip dasar keorganisasiannya dengan latar doktrinasi religius.
Dalam tataran itu sah-sah saja. Toh, itu ada legitimasi naqli-nya. Persoalan akan mengemuka ketika term AMNM disertakan dalam modus gerakan yang tidak santun, bahkan berbau kekerasan.
Atas nama agama, aksi yang garang dipertontonkan tanpa rasa bersalah sama sekali. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa mereka seolah menceburkan agama di tanah yang becek dan berlumpur. Dengan kata lain, sakralitas agama dicebur dalam wilayah profan.
Beberapa Catatan
Sebenarnya, ada sejumlah persoalan yang perlu diperhatikan mengenai pengejawantahan doktrin AMNM.
Pertama, dasar argumentasi pelaksanaan AMNM. Dalam konteks ini, doktrin AMNM mengandung dua hal pokok, yaitu perintah berbuat baik dan larangan berlaku buruk.
Tentu saja, pengejawantahannya bertujuan membentuk umat yang terbaik (khayru ummah). Dengan begitu, doktrin AMNM hanyalah sarana, bukan tujuan. Jangan sampai sarana mencederai cita luhur pembentukan khayru ummah tersebut dengan perilaku tidak terpuji.
Kedua, kontekstualisasi makna. Secara terminologis, term ma’ruf adalah antonim dari term munkar. Dalam sejumlah leksikon Arab disebutkan bahwa ma’ruf itu adalah baik menurut syara’ yang (pastinya) jiwa merasa tenteram dengannya.
Sebaliknya, kata munkar berkonotasi merisaukan pelakunya. Secara psikologis, sulit bagi seseorang mendustai perasaannya ketika berbuat buruk.
Hanya ketidaknormalan yang dapat mengukuhkan seseorang melakukan perbuatan buruk namun hatinya tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Mengacu pada logika tersebut, pelaku AMNM harus memiliki kapabilitas dalam kategorisasi antara ma’ruf dan munkar. Patut diakomodasi juga perbedaan antara term ma’ruf dan khayr yang keduanya sering diindonesiakan dengan “kebaikan”.
Penelusuran makna keduanya menemukan sebuah perbedaan mendasar bahwa yang pertama dapat bersifat “kekinian dan kedisinian”, sementara yang terakhir bersifat “universal”.
Atas dasar itu, adaptasi lokalitas dalam penegakan AMNM tidak dapat dielakkan. Pemaksaan ranah “kedisanaan” dalam sebuah wilayah “kedisinian” pertanda sebuah “obskurantisme” alias “kejahilan”.
Sederhananya, pengejawantahan AMNM meniscayakan junjungan langit berbanding lurus dengan pijakan bumi. Di sisi lain, makna “munkar” sendiri harus jelas keharamannya dan lepas dari silang pendapat.
Poin ini penting mengingat seringnya terjadi sesuatu yang masih dalam wilayah kontroversial — oleh kalangan yang otoritatif di bidang yang tengah dibincangkan — justeru telah diklaim “munkar” oleh pihak tertentu dan menyulutnya melakukan aksi sepihak dan anarkis atas nama penegakan AMNM.
Ketiga, kewenangan dalam penegakan AMNM. Dalam konteks ini, perlu klasifikasi yang jelas mengenai siapa dan bagaimana pelaksanaannya. Paling tidak, perlu kategorisasi wilayah privat dan publik dalam implementasinya. Urgensi memahami wilayah keduanya sangat signifikan dalam mengurai kewenangan pelaksananya.
Ketika wilayah privat dicampuradukkan dengan wilayah publik, maka letupan disintegrasi sosial tidak dapat dihindari. Sebagai contoh, wewenang seorang guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, suami terhadap istrinya, dan selainnya adalah wilayah privat.
Biarkan seorang anak kecil diarahkan oleh orang tuanya, dan semacamnya. Adapun wilayah publik dapat dicontohkan dengan pelibatan banyak pihak pada persoalan bersama yang mencakup banyak orang.
Dalam wilayah publik ini, otoritas kewenangan laiknya tidak melabrak tatanan sosial yang sudah berjalan. Ketika kewenangan sebuah institusi dicatut, maka gerakan apa pun secara prosedural telah bergeser dari jalurnya.
Keempat, prioritas dimensi pencegahan daripada dimensi kuratif. Da’wah bil hal (keteladanan) adalah bentuk dakwah yang lebih efektif membumikan konsep AMNM di tengah masyarakat.
Bermain di wilayah pencegahan jauh lebih kondusif dan efektif dalam konstruktivitas tatanan sosial ketimbang bermain di wilayah yang sifatnya kuratif.
Dengan kata lain, konsep AMNM harus ditarik ke dimensi aksi juga, bukan semata reaksi. Interaksi akomodatif pihak yang merasa mampu mengejawantahkan konsep AMNM dengan pihak berwenang lebih elegan dalam konteks bermasyarakat.
Sebab, berjalan sendiri-sendiri tanpa mengindahkan pihak yang berwenang hanya dapat memberi kesan arogansi dan kesewenangan.
Nilai kesantunan merupakan prasyarat yang harus diwujudkan dalam berdakwah. Apa pun tujuan yang hendak dicapai haruslah melalui proses yang santun.
Nabi Musa dan Nabi Harun saja tetap diperintahkan untuk bertutur santun ketika menemui Fir’aun yang kekafirannya bukan kepalang. Kita jangan pernah mengabaikan proses dalam upaya pencapaian sebuah cita dan tujuan.
Di sisi lain, justifikasi kesalahan pihak di luar diri dan kelompok dengan menggunakan parameter sendiri tidak akan pernah menghasilkan solusi yang jitu.
Terlebih jika menggunakan metode pemaksaan, dalam varian apa pun, yang hanya melahirkan persoalan baru. Alih-alih memperoleh simpati, justru hanya mengundang cibiran.
Sekali lagi, pembumian konsep AMNM harus membawa nilai perbaikan (maslahat), bukan menyisakan perusakan (mafsadat).
—
Beramar Ma’ruf dengan Cara yang Santun (Syahrullah Iskandar)
Comment