3 Kategori Orang Berpuasa, Inilah Golongan yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa Ramadhan

3 Kategori Orang Berpuasa, Inilah Golongan yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa Ramadhan (foto: istimewa)
3 Kategori Orang Berpuasa, Inilah Golongan yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa Ramadhan (foto: istimewa)
3 Kategori Orang Berpuasa, Inilah Golongan yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa Ramadhan

Jakarta – QS. Al-Baqarah ayat 184 menjelaskan tentang situasi tidak normal bagi yang berpuasa.

Jika pada ayat sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 183 menetapkan kewajiban berpuasa (‘azimah), maka ayat 184 ini mengurai kendala-kendala yang biasa dialami orang yang berpuasa dan keringanan yang diperolehnya (rukhshah).

Ini juga mendeskripsikan betapa ketetapan hukum di dalam al-Qur’an bukan untuk memberatkan, melainkan untuk kebaikan manusia itu sendiri.

Bacaan Lainnya

Dispensasi demikian menjadi dalil tak terbantahkan betapa luasnya karunia dan rahmat Allah SWT dalam menetapkan sebuah pembebanan (taklif) kepada hamba-Nya.

Harus dicamkan bahwa semua perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya sejalan dengan kemaslahatan hidup manusia, sehingga semuanya adalah baik dan membaikkan.

“Berpuasalah jika mau, dan berbukalah jika mau”

Terkait pelaksanaan puasa Ramadhan, ada tiga kategori orang yang berpuasa.

Pertama, orang yang sehat dan lagi mukim (ashihha’ muqimun). Mereka ini wajib berpuasa karena dalam kondisi yang normal.

Kedua, sakit dan dalam perjalanan (mardha wa musafirun). Mereka dibolehkan berbuka (jika mau) dan mengganti puasanya di luar Ramadhan.

Khusus terkait perjalanan, orang dibolehkan untuk meneruskan berpuasa atau berbuka. Hal ini didalilkan dari hadits terkait Sahabat Hamzah ibn ‘Amr al-Aslami yang kuat berpuasa ketika sedang dalam perjalanan bertanya kepada Rasulullah SAW apakah ia boleh meneruskan puasanya atau berbuka.

Rasulullah SAW menjawabnya, “Berpuasalah jika mau, dan berbukalah jika mau” (shum in syi’ta wa afthir in syi’ta) (HR. Muslim dari Aisyah RA).

Ketiga, tidak mampu berpuasa (la yaqdir ‘alas shaum). Ketika berpuasa akan menimbulkan dampak negatif pada diri atau semacamnya.

Kelompok terakhir ini dibolehkan berbuka dan membayar fidyah (membayar semacam “tebusan” sebagai ganti puasa yang ditinggalkan yang diserahkan kepada fakir dan miskin).

Adapun nilai fidyah dalam bentuk uang ini adalah sebesar Rp. 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) per hari/jiwa. Ketentuan pembayaran fidyah dengan uang ini tertuang juga dalam SK Ketua Baznas No. 07 Tahun 2023 tentang zakat fitrah dan fidyah untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Khusus kategori terakhir, yaitu yang “tidak mampu berpuasa” ini mencakup orang tua yang tidak memungkinkan untuk menjalani puasa, orang sakit yang kecil kemungkinan sembuhnya atau yang kesehatannya akan terlambat pulih bila terus berpuasa, dan ibu hamil atau yang menyusui bayinya yang mengkhawatirkan kondisi bayinya jika berpuasa.

Namun, terdapat perbedaan ketentuan sebagai pengganti puasanya. Bagi orang yang sudah berusia lanjut dan menderita sakit yang kecil kemungkinan sembuhnya cukup dengan membayar fidyah, tanpa harus mengganti puasanya (qadha’).

Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui bayinya, di mana bayinya yang menjadi faktor penyebab tidak berpuasa karena khawatir berdampak buruk bagi janin atau bayinya, maka menurut mazhab al-Syafi’I harus membayar fidyah sekaligus puasa qadha’.

Adapun menurut mazhab Abu Hanifah, cukup membayar fidyah, tanpa perlu berpuasa qadha’ lagi.

Itulah sekelumit dispensasi jika ada halangan untuk berpuasa Ramadhan. Mengambil dispensasi bagi yang sedang dalam perjalanan bukanlah sebuah kewajiban.

Tetapi itu menjadi semacam sedekah dari Allah SWT (shadaqah tashaddaqallahu biha ‘alaikum).

Mengambilnya adalah baik, dan tidak mengambilnya pun tidak berdosa. Bagi yang betul-betul dalam posisi sulit, maka lebih baik tidak berpuasa.

“Bukanlah tergolong kebaikan dengan (tetap) puasa dalam perjalanan”

Ini juga diceritakan dalam sebuah hadits ketika dalam suatu perjalanan pada peristiwa Fathu Makkah tahun kedelapan Hijriah.

Rasulullah SAW melihat orang pada berdesak-desakan. Beliau melihat ada seseorang yang begitu letih di tengah kerumunan orang banyak itu yang ternyata sedang berpuasa Ramadhan.

Rasulullah SAW berkata, “Bukanlah tergolong kebaikan dengan (tetap) puasa dalam perjalanan” (laysa minal birri al-shiyam fissafar) (HR. Abu Dawud dari Sahabat Jabir ibn ‘Abdillah).

Berbeda dengan kewajiban shalat yang tetap ada dalam perjalanan, meski hanya dengan jamak atau qashar.

Hal ini diurai oleh Syekh Ali ibn Ahmad al-Jurjawi dalam buku fenomenalnya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh bahwa ibadah puasa itu mengandung kesulitan (masyaqqah) jika tetap dilaksanakan, sedangkan shalat tidak sesulit berpuasa itu sendiri bagi yang tengah dalam perjalanan.

Menurutnya, jika puasa dan shalat sekaligus dibolehkan untuk tidak dilakukan dalam situasi perjalanan, maka upaya pendekatan diri kepada Allah SWT semakin jauh.

Padahal, dimensi pendekatan diri kepada Allah SWT ini menjadi tujuan utama dari semua bentuk ketaatan dan amalan kebaikan yang dilakukan oleh umat manusia.

 

SYAHRULLAH ISKANDAR

(Pengasuh Pesantren DDI Baitussalam Depok)

 

“3 Kategori Orang Berpuasa, Inilah Golongan yang Dapat Dispensasi Tidak Berpuasa Ramadhan”

 

 

Pos terkait

Comment